Selasa, 14 Mei 2013

Membeku Dalam Laut Selatan

Membeku Dalam Laut Selatan
Nama: Leonardus Albert K
NIM: 11140110158
            Pandangan saya masih rabun lebih tepatnya saya terbangun karena merasa seperti ada yang memandangi saya, namun saya tidak mempedulikan hal tersebut. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Berat sekali untuk membuka mata dan juga nyawa saya belum terkumpul penuh. Melihat kanan kiri sepertinya belum ada yang terbangun di antara keluarga saya. Akhirnya saya menganjakkan kaki keluar dari bungalow saya.
 
            Tidak rugi saya bangun sepagi ini untuk melihat bagaimana pemandangan matahari terbit di pantai UjungGenteng. Burung-burung terbang dari arah barat menuju timur. Saya duduk di kursi depan teras. Dari arah pantai terlihat banyak sekali warga sekitar meneriakkan sesuatu. Karena penasaran saya segera berlari ke arah kerumunan tersebut. Sesampainya disana, ada sesosok pria yang tanpa memakai busana menarik sesuatu dari laut. Saya terheran mengapa orang tersebut berada sedikit jauh dari pesisir sementara air sedang pasang di pagi ini. Hanya kepalanya saja yang nampak. Lalu setelah pria tersebut sampai dekat pesisir ternyata dia membawa sesosok mayat pria. Dibawanya pria yang sudah tewas itu dengan kedua tangannya. 

“Masih hidup tidak orangnya ????” teriak seorang warga.

“Ya udah nyaho lah 3 hari tenggelem” balas pria yang menggontong mayat tersebut.

Lalu ketika mayat tersebut sudah sampai di pesisir pantai, 2 orang segera berlari membantu menggontong mayat tersebut. Berbondong-bondong warga segera menghampiri mayat itu. Karena penasaran seperti apa mayat yang tenggelam selama 3 hari saya juga mengikuti warga.

Hari itu adalah pertama kalinya saya melihat sesosok mayat secara langsung. Seumur-umur saya belum pernah melihat mayat seperti dibunuh atau sebagainya. Mayat tersebut adalah seorang pria yang badannya sedikit gemuk. Saya sedikit terkejut dengan bagaimana kondisi mayat yang tenggelam selama 3 hari. Mukanya tidak berbentuk karena terdapat banyak sekali benjolan besar. Seluruh badannya kaku dan memutih karena semua aliran darah telah berhenti. Di kakinya nampak seperti ada bekas gigitan ikan-ikan lebih tepatnya sekitar paha kanan. Mayat tersebut mengenakan celana yang kecil, mungkin menyusut karena terlalu lama berada di laut dan bau tidak sedap keluar dari badannya.

Karena tidak tahan dengan bau tersebut seorang pria meminta temannya untuk mengambilkan bubuk kopi di warung terdekat. Bubuk kopi pun sampai dan segera 4 bungkus bubuk kopi ditaburkan di seluruh badan mayat tersebut. Bau tersebut pun hilang.

“Kok bau mayatnya jadi enak gini ? ini bubuk kopi apaan ?” tanya pria yang menuangkan bubuk tersebut. Lalu dia membaca bahwa bubuk tersebut adalah bubuk kopi manis. Lantas warga pun tertawa karena bau mayat tersebut menjadi enak.

Karena hari masih pagi belum ada ambulan datang ke tempat tersebut dan diputuskan untuk meletakkan mayat tersebut di pinggir pantai. Karena sudah bosan saya balik ke bungalow dan menanyakan security tempat saya menginap mengenai kejadian tersebut. Saya duduk di bangku panjang bersama pria yang biasa disapa Farhan.

Wajahnya masih muda dan belum terlihat tua mungkin lima tahun lebih tua daripada saya. Dia menjelaskan bahwa kejadiannya sehari sebelum saya menginap di tempat ini. Farhan menjelaskan ada lima orang karyawan sedang berlibur di pantai tersebut. Pihak hotel sudah memperingatkan bahwa tidak boleh berenang atau menaiki kapal di pantai tersebut. Ternyata secara diam-diam mereka melanggar hal tersebut. Sore-sore mereka pergi ke pantai dan menaiki perahu  dan mendayungnya sedikit jauh dari pesisir pantai.

Karena laut sedang pasang mereka tidak bisa mengendalikkan perahu sehingga membuat perahu tersebut terbalik. Lima orang tersebut langsung jatuh ke dalam air dan secara tiba-tiba 3 orang diantaranya mengalami keram. Akhirnya tiga orang tersebut tenggelam dan dua orang sisanya berhasil selamat. Dua orang yang selamat segera berteriak minta tolong namun kata Farhan kondisi pantai memang lagi sepi. Sampai akhirnya kedua orang tersebut berenang sampai pinggir pantai mereka berlari ke security hotel kami dan mengatakan bahwa tiga orang temannya tenggelam. Dua mayat teman mereka diketemukan di hari kejadian tersebut berlangsung dan sisanya baru hari ini.

Saya menanyakan Farhan dimana tempat mereka menginap dan jawaban yang mengejutkan bahwa mereka semua menginap di bungalow yang saya tempati sekarang. Setelah itu saya menyudahi pembicaraan dan berlari masuk ke bungalow. Setelah itu saya menceritakan tentang kejadian tersebut ke keluarga saya.

Selasa, 07 Mei 2013

Snow In the top of Fuji Mountain


Salju di Puncak Fuji
Nama : Leonardus Albert K
NIM: 11140110158



            “WUSSSSSSSSSSSSSSS” angin dingin yang bertiup kencang masuk ke dalam bus saya melalui celah jendela yang saya buka. Dengan segera saya menutup jendela yang terbuka tepat berada di samping saya. Saya tidak menyangka bahwa angin yang bertiup akan sedingin itu. Saking dinginnya tiupan angin tersebut membuat muka saya langsung gemetaran. Ternyata penunjuk suhu yang berada dalam bus menunjukkan suhu 17 derajat celcius. Padahal saya baru berada di tingkat 5 Gunung Fuji. Saya tidak membayangkan berapa suhu ada di tingkat 3 gunung Fuji. Di pikiran saya mungkin 9 derajat.

            Kondisi saya masih mengantuk karena mengalami jetlag. Perbedaan waktu di Jepang dengan Indonesia sebanyak 3 jam lebih cepat. Saya berusaha untuk tidur namun tidak bisa, karena suara rombongan yang gaduh di dalam bus. Untuk mengisi waktu, Tour Guide saya bernama Thomas-san menyalakan mesin karaoke yang berada di tepat samping tempat duduk kursi. TV tepat berada di atas mesin karaoke.
            “Ayo siapa yang mau nyanyi di depan” Kata Thomas-san dengan bahasa Indonesia sedikit kejepang-jepangan. Karena saya masih ngantuk, saya tidak mau maju ke depan. Saya hanya menyandarkan kepala saya ke dekat jendela dan memandangi pemandangan luar bus.

            “Aku , Aku !” Ayah saya berteriak dan mengangkat tangannya. Saya langsung terkejut ketika mendengar suaranya. Lalu ayah saya segera berdiri dan maju ke depan.

            “ Mau lagu apa pak Sugeng ?” tanya Thomas-san.

            “Hey Jude-nya the beatles” Jawab ayah saya.

            Diputarlah lagu tersebut. Yang pada awal-nya saya ingin namun menjadi tertawa terbahak-bahak karena mendengar suara ayah saya beryanyi. Suaranya sumbang sekali dan cenderung membuat nada sendiri.  Tetapi ayah saya menyanyi dengan penuh percaya diri dengan membaca kalimat inggris seperti kalimat Indonesia. Setidaknya seisi bus terhibur dengan penampilan ayah saya dan dapat mencairkan suasana.

            “ Ya Ibu-ibu, Bapak-bapak, anak-anak sekalian bisa dibuka jendelanya sebentar, disini akan terdengar suara musik yang berasal dari dalam hutan ”, saya segera membuka jendela namun saya sudah menyiapkan diri sebelum diterpa angin dingin. Kemudian saya menarik jendela tersebut ke kiri dan terdengar seperti suara lagu yang berasal dari dalam hutan. Saya tidak begitu tahu lagu karena belum mendengarnya. Thomas-san menjelaskan bahwa lagu tersebut merupakan buatan alam yang berada di dalam hutan tersebut. Saya segera menutup jendela saya kembali karena tidak tahan terhadap angin dingin yang menerpa muka saya terus-terusan.

            1 jam kemudian akhirnya saya sampai di tingkat 3 gunung fuji yang dimana hanya 600 meter dari puncak-nya. Satu persatu dari kami keluar. Ketika giliran saya angin kembali bertiup kencang dan lebih dingin dari sebelumnya. Baru melangkahkan satu kaki keluar bus. Saya langsung berdiri tegak gemetaran. Bodohnya saya hanya menggunakan baju polos berwarna hitam dan celana panjang berwarna hitam juga. Dinginnya sampai menusuk kulit. Bulu semua berdiri. Kedua tangan saya segera saya gosok-gosokan agar panas dan menempelkannya ke muka saya. Ya namun hanya bermanfaat sedetik saja dan badan saya kembali gemetaran.

            Saya sedikit menyesal karena tidak membawa jaket. Thomas-san memberitahu bahwa suhu disini sekitar 11 derajat. Thomas-san mengajak kami untuk berfoto bersama di sebuah batu yang bertuliskan Fuji-Hakone-Izu National Park. Mereka semua bisa berjalan seperti layaknya orang normal sedangkan saya melangkahkan satu kaki saja harus penuh perjuangan. Saya berjalan dengan menyilangkan tangan saya dan menyingkapnya di antara pinggang. Alhasil ketika berfoto hanya foto saya lah yang benar-benar jelek. Mata tertutup. Rambut berterbangan seperti di iklan sampo akibat diterpa angin dan  saya gemetaran.

            Tidak jauh dari batu selamat datang terdapat sebuah Toko souvenir. Kami diberi kesempatan untuk membeli sebuah cinderamata. Di dalamnya terasa berbeda. Lebih hangat. Bangunan terbuat dari kayu-kayu yang berwarna coklat muda. Banyak cinderamata unik khas jepang dan fuji seperti patung fuji, boneka koshiki dan lain sebagai-nya. Tempatnya tidak besar namun nyaman.  Saya melihat-lihat dalam toko dan mereka menjual minuman hangat seperti ocha dan sebagainya. Ocha hangat menarik perhatian saya dengan segera saya kesana dan memesan satu ocha hangat untuk saya minum. Kasirnya seorang wanita. Mungkin 3 tahun lebih tua dari saya. Saya segera merogoh kantong saya dan memberikan uang 150 yen. Wanita itu pun tersenyum dan mengucapkan arigatou gozaimas dan saya berterima kasih kembali dengan mengucapkan arigatou gozaimas karena itu adalah hanya bahasa jepang saya tahu.

            Sambil duduk di sebuah meja meminum ocha hangat saya melihat ke luar jendela. Meskipun hawanya dingin di luar sana. Pemandangan yang disajikan sangatlah indah. Pohon hijau menghiasi pinggir jalan. Bebatuan dan Salju yang menghiasi puncak gunung tersebut.

            Ketika saya melihat-lihat ke luar jendela. Thomas-san duduk tepat di depan saya. Sepertinya dia juga kedinginan karena memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Meskipun sudah tua dan rambutnya memutih dia masih terlihat berjiwa muda.

            Saya menanyakan tentang salju yang berada di puncak gunung Fuji kepada Thomas-san.
“Thomas-san kenapa salju-nya cuma ada di atas ? kok yang dibawah gak ada ?”, tanya saya kepadanya.
“salju yang di puncak Fuji namanya salju Abadi dinamain Salju Abadi karena sepanjang tahun puncak gunung Fuji ya bersalju terus” jawabnya.

            Saya menikmati pemandangan Fuji sampai tetes terakhir pada ocha saya. Mungkin saya akan merindukan suasana ini. Baru pertama kalinya saya melihat salju dan merupakan pengalaman berkesan buat saya.