Selasa, 26 Februari 2013

Kenya Kebebasan yang Terbelenggu


Kenya Kebebasan yang Terbelenggu
Suasana malam yang tenang di Negara Kenya diwarnai dengan mobi-mobil yang melintas, Orang-Orang berjalan pulang menuju rumahnya dan mungkin ada beberapa yang baru saja untuk pergi ke suatu tempat. Namun sebenarnya malam tersebut bukanlah malam yang tenang di Kenya. Setiap orang hanya bisa meratapi tentang bagaimana Pemerintahan di Kenya yang sangat kacau balau. Dimana mereka hanya bisa berbicara tentang masalah yang terjadi namun tidak berani melakukan tindakan apapun karena takut akan kekuatan pemerintahan disana. Anggapan Pemerintahan di Kenya adalah seperti Burung Pemakan Bangkai. Mereka berkuasa, bersenang-senang, tertawa di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Namun beberapa dari Rakyat Kenya memberanikan diri untuk melakukan perubahan menuju Kenya  yang    lebihbaik. 
            Boniface Mwangi (29) seorang Jurnalis dari Kenya yang merupakan Pemenang Foto Jurnalistik Dunia memutuskan untuk meletakkan Kameranya. Dia sudah lelah terhadap Negaranya sendiri karena Korupsi Politik yang terus menerus berlanjut tanpa adanya perubahan. Yang dia ingin lakukan sekarang adalah merubah Negaranya demi seluruh Rakyat di Kenya.
            Malam itu di Nairobi Mwangi dan krunya mempersiapkan aksi ilegal pertamanya untuk melakukan protes terhadap pemerintahan. Dia dan kru-nya berdiskusi di ruangan yang tidak terlalu besar. Meski-pun mereka terbatas oleh fasilitas tetapi mereka semua mempunyai tujuan yang sama yaitu membawa perubahan untuk Kenya. Seusai berdiskusi Mwangi segera mempersiapkan semua peralatan dan segera bergegas menuju mobil.
             Akhirnya Mwangi dalam perjalanan menuju tempat melakukan aksinya. Suasana dalam mobil dipenuhi dengan adrenalin serta kekhawatiran karena dia sadar bahwa aksi yang dilakukannya adalah illegal dan terlebih lagi tidak teorganisir.
             “ Kenya adalah salah satu negara yang indah namun Rakyat Kenya adalah para pengecut, mereka hanya bisa berkomentar tentang korupsi, pengambilan tanah, kekebalan hukum tanpa melakukan sebuah tindakan ”, Kata Mwangi. hal inilah yang membuat Mwangi ingin meninggalkan zona aman dan melawan hukum demi Kenya.
             Sesampainya di Lokasi dia dan kru-nya memulai aksinya. Aksi pertama yang dia lakukan menggambar Grafiti di dinding jalan Kota. Hanya bermodal nekat dan beberapa peralatan seperti spray, tangga, dan proyektor. Proyektor dinyalakan dan dihadapkan ke arah dinding. Terpampang lah sebuah gambar dari proyektor tersebut. Para pelukis segera menggambar apa yang sesuai dengan gambar dari proyektor. Akhirnya Sebelum menjelang pagi Grafiti tersebut pun selesai. Keringat serta kerja keras yang mereka lakukan akhirnya berbuah.
             Ketika matahari terbit masyarakat melakukan aktivitasnya. Mereka melihat sesuatu yang tidak biasa dalam perjalanan mereka. Mereka berhenti sejenak untuk melihat apa yang terlukiskan di dinding yang mereka lalui. Lukisan tersebut menggambarkan kondisi Kenya sekarang. Mereka hanya bisa terdiam dan sadar bahwa apa yang dikatakan dari lukisan tersebut adalah hal yang benar. Mereka sadar bahwa mereka pengecut karena tidak berani melakukan sebuah tindakan apapun.
            Seminggu kemudian Mwangi dicari oleh beberapa politisi untuk ditawarkan bekerjasama. Berbagai tawaran menggiurkan berupa uang pun diberikan kepadanya, Namun dia tetap berpegan teguh pada visi dan misinya dan menolah tawaran tersebut. Yang dia cari bukanlah material melainkan kebebasan negaranya. Karena menolak tawaran tersebut beberapa hari kemudian ada sebuah ancaman dan Mwangi akhirnya dipanggil oleh kepolisian Kenya. Sebelum memenuhi panggillan kepolisian Mwangi mengupdate pesan di facebooknya untuk mengumpulkan massa dan mendatangi kantor kepolisian agar dirinya terbebas.
           Mwangi yang ditahan dibalik jeruji kepolisian, tersenyum ketika mendengar sorak-sorak yang berada di depan kepolisian. Akhirnya Mwangi pun bebas dari balik jeruji dan berjalan menuju keluar. Di depan kepolisian dia meneriakkan “ Kenya adalah rumah kita “ dan sorakan pun bergemuruh keras dari demonstran. 
           Meskipun dia dan kru-nya dilarang membuat graffiti. Mereka tidak kehilangan semangat untuk melakukan perubahan. Ketika berada di tempat kerjanya, Mwangi mengambil album foto hasil potretannya. Membuka halaman demi halaman, melihat gambar demi gambar membuatnya tersadar bahwa gambar yang dia potret memiliki rasa emosional yang sangatlah kuat tentang kekejaman pemerintahan Kenya. Dia memanfaatkan fotonya tersebut sebagai penggerak rasa emosional rakyat Kenya. Dengan segera dia melakukan pameran gambar-gambar yang ia potret di jalanan.
          Gambar yang terpampang adalah gambar yang menggambarkan kekejaman Pemerintahan Kenya. Sebanyak 700 .000 orang telah melihat foto yang diambil Mwangi. Foto tersebut menghantui mereka karena teringat akan peristiwa itu. Beberapa dari mereka ada yang menangis karena mereka telah merasakan hal yang ada dalam foto tersebut. Kekejaman, Penyiksaan, Ketidakadilan itulah yang mereka rasakan. 
         Mwangi telah melakukan pameran foto lebih dari 20 kota di Kenya. Lalu dia kembali secara diam-diam untuk menggambar graffiti tanpa mempedulikan resiko hukumannya. Mwangi dan Kru-nya telah menggambar lebih dari 40 buah graffiti.  Aksi terbesar yang dia lakukan berikutnya adalah membawa 49 Peti Mati dan menaruhnya di depan Gedung Parlemen Kenya. Di setiap peti matinya tertera tulisan “ Bury The Vultures “. Setelah meletakkan Peti Mati di depan Gedung Parlemen. Mwangi dan para demonstran meninggalkan tempat tersebut. Polisi pun datang dan mengangkat semua peti mati yang terletak di depan gedung. Meskipun begitu Mwangi dan kru-nya takkan ada matinya untuk memperjuangkan kebebasan Negaranya. Revolusi yang dilakukan oleh Mwangi dinamakan dengan Revolusi Ballot.