Selasa, 19 Maret 2013

Perjuangan Sepasang Perantau


Perjuangan Sepasang Perantau


Hanya dengan bermodal nekat dan sedikit uang, Iyem dan suaminya Suyitno mempertaruhkan nasibnya di Ibukota Jakarta. Bukan keinginan mereka untuk merantau ke ibukota tetapi karena sebuah paksaan ekonomi yang mengharuskan mereka untuk mengadu nasib. Di Kampung halamannya Kebumen mereka hanya berjualan gula merah dan tentu saja hal itu tidak mencukupi bagi pasangan tersebut yang memiliki 3 orang anak yang harus dipenuhi kebutuhan sekolahnya.
Iyem dan Suyitno tinggal di kontrakan yang ruangannya hanya seluas 3x3 meter. Kasur terletak di pojok kiri tembok dan peralatan masak tepat terletak di samping mereka. Tetapi disinilah tempat mereka berdua tinggal. Setiap pukul 05.00 , Iyem selalu bangun dari kasurnya dan segera keluar untuk mencuci muka. Tanpa sarapan dia langsung bergegas ke rumah saya untuk bekerja.
“ Tok , Tok Mas Albert bangun bibi mau sapu kamar mas Albert” kata Iyem sembari mengetuk pintu. Saya bangun dari kasur dan segera membukakan pintu. Iyem berdiri tepat di depan kamar sambil memegang segagang sapu dengan wajah yang sedikit masih mengantuk. Dengan segera ia masuk ke kamar saya dan membersihkan lantai yang kotor dan sedikit berdebu. Seusai dia menyapu kamar saya , saya meminta waktu untuk berbicara dengan Iyem.Saya ingin tahu lebih tentang kehidupan dirinya.
Saya berbicara kepada Iyem yang sedang melakukan aktifitasnya. “ Bi, bibi asalnya darimana bi ?” , Tanya saya dengan wajah yang masih setengah sadar. “ Bibi mah sama kaya papa bert dari Kebumen” jawabnya sambil menyapu.  Saya kaget karena siapa sangka ternyata Iyem berasal dari tempat yang sama dengan papa saya. Padahal Iyem sudah bekerja di tempat saya selama 7 bulan dan saya baru tahu jika dia berasal dari Kebumen.
“Bibi kenapa mau kerja jadi pembantu cuci gosok bi ?” Tanya saya. Lalu Iyem menjawab “ ya bibi kan sama suami merantau bert ke Jakarta jadi bibi mau deh kerja apa aja di Jakarta asal dapet duit”. Kebutuhan  materilah yang menjadi sebuah alasan kenapa Iyem harus merantau.
 Lalu Iyem bercerita mengenai pengalaman pahit yang tentu saja telah dialami-nya selama 4 tahun berada di Jakarta. terlebih lagi ketika mereka berdua baru pertama kali tiba di Jakarta tak ada satu pun yang mereka kenal dan banyak pergulatan batin yang meliputi pikiran mereka. Harus kerja apa ? harus kemana ? harus tinggal dimana ? , pertanyaan itulah yang timbul di pikiran mereka berdua.
Suyitno berkata kepada saya bahwa istrinya adalah seorang istri yang setia dan tangguh karena Iyem tidak pernah menyerah terhadap keadaan. Banyak masalah tentunya yang menghampiri mereka ketika berada di Jakarta pertama kali. Cercaan mereka terima dan Suyitno paling ingat adalah ketika dirinya terkena penyakit Tipus . Ketika itu mereka berdua tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya berobat. Biaya yang diperlukan sebesar 150 ribu rupiah. Mungkin bagi kita 150 ribu tidak lah seberapa dan bisa dengan mudah kita dapatkan , tapi bagaimana dengan Iyem dan Suyitno yang bagi mereka 150 ribu rupiah seperti uang sebesar 1,5 juta rupiah. Iyem melakukan segala cara agar suaminya bisa disembuhkan, sampai akhirnya ia bekerja sebagai tukang cuci gosok dan hari pertama ia bekerja ia langsung memohon kepada tuan rumah untuk meminjamkan uang untuk berobat. Akhirnya didapatkan uang tersebut dan segera kebahagiaan menghampiri Iyem. Senyumannya terurai lebar ketika ia melihat suaminya sehat kembali. Seusai  sembuh Suyitno akhirnya bekerja sebagai seorang tukang bangunan.
Masalah bukan hanya itu saja cerita Suyitno dan Iyem. Pertama kali ketika mereka tinggal di Jakarta mereka mendapatkan cercaan dari banyak orang sekitar. “ WOI JAWA NGAPAIN LU TINGGAL DISINI !?”  salah satu cercaan yang paling mereka ingat adalah kata tersebut.
Meskipun saya berbicara kepada Iyem dan Suyitno di waktu yang berbeda tetapi jawaban mereka selalu saja sama. Mereka berdua sama-sama berkata bahwa tidak perlu meladeni cercaan yang ditujukan kepada mereka, karena betul memang mereka merantau tetapi mereka jelas punya tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Setelah 4 tahun tinggal di Jakarta segala macam rintangan berhasil mereka lalui bersama tanpa adanya keluh kesal. Sekarang Iyem mempunyai pendapatan sebesar 1,5 juta – 2 juta sebulan dan suaminya mempunyai pendapatan sebesar 2,5 juta sebulan. Penghasilan itu sudah cukup bagi mereka karena mereka sudah mampu untuk membeli sebuah motor, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai ketiga anak mereka sekolah.
Seorang teman dari Iyem yang bernama Hoiriah berkata kepada saya bahwa Iyem dan  Suyitno adalah pasangan perantau yang bekerja keras. Hoiriah berkata bahwa Iyem selalu mau melakukan kerjaan apa-pun.
           Seiring waktu berjalan Iyem dan Suyitno melangkah bersama untuk masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Tidak kenal dengan apa yang namanya rasa lelah dan selalu tetap berharap akan mendapatkan sesuatu yang lebih lagi hari esok.