Selasa, 27 Agustus 2013

Things in Canada That You Should Know

It's been 5 days i'm staying in Canada right now but you know i have not make any friends because the orientation not yet start. I mean i only have few friends now, such as my family where i live now and some indonesian friends.

It's been rough days because i still cannot adjust the time difference between Canada and Indonesia. The gap is about 14 hours. 3 days ago i fell asleep at 02.00 AM in the morning and then you know what time i woke up ? it's 14.00 PM. i slept like a cow HAHAHA. 

In this post i'm going to write down about cultures and things that's i've never experienced in Indonesia.

1. A lot of squirrels in here. 
At the first time i arrived, i seen a lot of squirrels in the side of the street and especially when i reached the place where i live.

2. Every houses has alarms for security.
Well this is the first time i'm using an alarm to make sure that my home is safe. Back when i was in Indonesia we never have it eventhough we know that crimes rate in there is really high.

3. They usually eat only with a fork.
I don't know if this happens only in my family or not but everytime i eat breakfast, lunch, or dinner they never put a spoon at the table. 

4. The don't have toilet shower.
Well this is the hardest one for me. You know one day i took a dumb and there IS NO SHOWER IN THE TOILET and the question is HOW CAN I WIPE MY OWN ASS IF THERE IS NO SHOWER ?, the only thing that they have in the toilet is tissue. You know in Indonesia we usually wipe our ass by using shower but people in here usually wipe their ass by tissue. So after struggling in the toilet about 10 minutes finally i can wipe my ass by TISSUE. eventhough it's gross i have to do it or i'll be trapped in the toilet for whole life. HAHAHA


                   

Selasa, 14 Mei 2013

Membeku Dalam Laut Selatan

Membeku Dalam Laut Selatan
Nama: Leonardus Albert K
NIM: 11140110158
            Pandangan saya masih rabun lebih tepatnya saya terbangun karena merasa seperti ada yang memandangi saya, namun saya tidak mempedulikan hal tersebut. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Berat sekali untuk membuka mata dan juga nyawa saya belum terkumpul penuh. Melihat kanan kiri sepertinya belum ada yang terbangun di antara keluarga saya. Akhirnya saya menganjakkan kaki keluar dari bungalow saya.
 
            Tidak rugi saya bangun sepagi ini untuk melihat bagaimana pemandangan matahari terbit di pantai UjungGenteng. Burung-burung terbang dari arah barat menuju timur. Saya duduk di kursi depan teras. Dari arah pantai terlihat banyak sekali warga sekitar meneriakkan sesuatu. Karena penasaran saya segera berlari ke arah kerumunan tersebut. Sesampainya disana, ada sesosok pria yang tanpa memakai busana menarik sesuatu dari laut. Saya terheran mengapa orang tersebut berada sedikit jauh dari pesisir sementara air sedang pasang di pagi ini. Hanya kepalanya saja yang nampak. Lalu setelah pria tersebut sampai dekat pesisir ternyata dia membawa sesosok mayat pria. Dibawanya pria yang sudah tewas itu dengan kedua tangannya. 

“Masih hidup tidak orangnya ????” teriak seorang warga.

“Ya udah nyaho lah 3 hari tenggelem” balas pria yang menggontong mayat tersebut.

Lalu ketika mayat tersebut sudah sampai di pesisir pantai, 2 orang segera berlari membantu menggontong mayat tersebut. Berbondong-bondong warga segera menghampiri mayat itu. Karena penasaran seperti apa mayat yang tenggelam selama 3 hari saya juga mengikuti warga.

Hari itu adalah pertama kalinya saya melihat sesosok mayat secara langsung. Seumur-umur saya belum pernah melihat mayat seperti dibunuh atau sebagainya. Mayat tersebut adalah seorang pria yang badannya sedikit gemuk. Saya sedikit terkejut dengan bagaimana kondisi mayat yang tenggelam selama 3 hari. Mukanya tidak berbentuk karena terdapat banyak sekali benjolan besar. Seluruh badannya kaku dan memutih karena semua aliran darah telah berhenti. Di kakinya nampak seperti ada bekas gigitan ikan-ikan lebih tepatnya sekitar paha kanan. Mayat tersebut mengenakan celana yang kecil, mungkin menyusut karena terlalu lama berada di laut dan bau tidak sedap keluar dari badannya.

Karena tidak tahan dengan bau tersebut seorang pria meminta temannya untuk mengambilkan bubuk kopi di warung terdekat. Bubuk kopi pun sampai dan segera 4 bungkus bubuk kopi ditaburkan di seluruh badan mayat tersebut. Bau tersebut pun hilang.

“Kok bau mayatnya jadi enak gini ? ini bubuk kopi apaan ?” tanya pria yang menuangkan bubuk tersebut. Lalu dia membaca bahwa bubuk tersebut adalah bubuk kopi manis. Lantas warga pun tertawa karena bau mayat tersebut menjadi enak.

Karena hari masih pagi belum ada ambulan datang ke tempat tersebut dan diputuskan untuk meletakkan mayat tersebut di pinggir pantai. Karena sudah bosan saya balik ke bungalow dan menanyakan security tempat saya menginap mengenai kejadian tersebut. Saya duduk di bangku panjang bersama pria yang biasa disapa Farhan.

Wajahnya masih muda dan belum terlihat tua mungkin lima tahun lebih tua daripada saya. Dia menjelaskan bahwa kejadiannya sehari sebelum saya menginap di tempat ini. Farhan menjelaskan ada lima orang karyawan sedang berlibur di pantai tersebut. Pihak hotel sudah memperingatkan bahwa tidak boleh berenang atau menaiki kapal di pantai tersebut. Ternyata secara diam-diam mereka melanggar hal tersebut. Sore-sore mereka pergi ke pantai dan menaiki perahu  dan mendayungnya sedikit jauh dari pesisir pantai.

Karena laut sedang pasang mereka tidak bisa mengendalikkan perahu sehingga membuat perahu tersebut terbalik. Lima orang tersebut langsung jatuh ke dalam air dan secara tiba-tiba 3 orang diantaranya mengalami keram. Akhirnya tiga orang tersebut tenggelam dan dua orang sisanya berhasil selamat. Dua orang yang selamat segera berteriak minta tolong namun kata Farhan kondisi pantai memang lagi sepi. Sampai akhirnya kedua orang tersebut berenang sampai pinggir pantai mereka berlari ke security hotel kami dan mengatakan bahwa tiga orang temannya tenggelam. Dua mayat teman mereka diketemukan di hari kejadian tersebut berlangsung dan sisanya baru hari ini.

Saya menanyakan Farhan dimana tempat mereka menginap dan jawaban yang mengejutkan bahwa mereka semua menginap di bungalow yang saya tempati sekarang. Setelah itu saya menyudahi pembicaraan dan berlari masuk ke bungalow. Setelah itu saya menceritakan tentang kejadian tersebut ke keluarga saya.

Selasa, 07 Mei 2013

Snow In the top of Fuji Mountain


Salju di Puncak Fuji
Nama : Leonardus Albert K
NIM: 11140110158



            “WUSSSSSSSSSSSSSSS” angin dingin yang bertiup kencang masuk ke dalam bus saya melalui celah jendela yang saya buka. Dengan segera saya menutup jendela yang terbuka tepat berada di samping saya. Saya tidak menyangka bahwa angin yang bertiup akan sedingin itu. Saking dinginnya tiupan angin tersebut membuat muka saya langsung gemetaran. Ternyata penunjuk suhu yang berada dalam bus menunjukkan suhu 17 derajat celcius. Padahal saya baru berada di tingkat 5 Gunung Fuji. Saya tidak membayangkan berapa suhu ada di tingkat 3 gunung Fuji. Di pikiran saya mungkin 9 derajat.

            Kondisi saya masih mengantuk karena mengalami jetlag. Perbedaan waktu di Jepang dengan Indonesia sebanyak 3 jam lebih cepat. Saya berusaha untuk tidur namun tidak bisa, karena suara rombongan yang gaduh di dalam bus. Untuk mengisi waktu, Tour Guide saya bernama Thomas-san menyalakan mesin karaoke yang berada di tepat samping tempat duduk kursi. TV tepat berada di atas mesin karaoke.
            “Ayo siapa yang mau nyanyi di depan” Kata Thomas-san dengan bahasa Indonesia sedikit kejepang-jepangan. Karena saya masih ngantuk, saya tidak mau maju ke depan. Saya hanya menyandarkan kepala saya ke dekat jendela dan memandangi pemandangan luar bus.

            “Aku , Aku !” Ayah saya berteriak dan mengangkat tangannya. Saya langsung terkejut ketika mendengar suaranya. Lalu ayah saya segera berdiri dan maju ke depan.

            “ Mau lagu apa pak Sugeng ?” tanya Thomas-san.

            “Hey Jude-nya the beatles” Jawab ayah saya.

            Diputarlah lagu tersebut. Yang pada awal-nya saya ingin namun menjadi tertawa terbahak-bahak karena mendengar suara ayah saya beryanyi. Suaranya sumbang sekali dan cenderung membuat nada sendiri.  Tetapi ayah saya menyanyi dengan penuh percaya diri dengan membaca kalimat inggris seperti kalimat Indonesia. Setidaknya seisi bus terhibur dengan penampilan ayah saya dan dapat mencairkan suasana.

            “ Ya Ibu-ibu, Bapak-bapak, anak-anak sekalian bisa dibuka jendelanya sebentar, disini akan terdengar suara musik yang berasal dari dalam hutan ”, saya segera membuka jendela namun saya sudah menyiapkan diri sebelum diterpa angin dingin. Kemudian saya menarik jendela tersebut ke kiri dan terdengar seperti suara lagu yang berasal dari dalam hutan. Saya tidak begitu tahu lagu karena belum mendengarnya. Thomas-san menjelaskan bahwa lagu tersebut merupakan buatan alam yang berada di dalam hutan tersebut. Saya segera menutup jendela saya kembali karena tidak tahan terhadap angin dingin yang menerpa muka saya terus-terusan.

            1 jam kemudian akhirnya saya sampai di tingkat 3 gunung fuji yang dimana hanya 600 meter dari puncak-nya. Satu persatu dari kami keluar. Ketika giliran saya angin kembali bertiup kencang dan lebih dingin dari sebelumnya. Baru melangkahkan satu kaki keluar bus. Saya langsung berdiri tegak gemetaran. Bodohnya saya hanya menggunakan baju polos berwarna hitam dan celana panjang berwarna hitam juga. Dinginnya sampai menusuk kulit. Bulu semua berdiri. Kedua tangan saya segera saya gosok-gosokan agar panas dan menempelkannya ke muka saya. Ya namun hanya bermanfaat sedetik saja dan badan saya kembali gemetaran.

            Saya sedikit menyesal karena tidak membawa jaket. Thomas-san memberitahu bahwa suhu disini sekitar 11 derajat. Thomas-san mengajak kami untuk berfoto bersama di sebuah batu yang bertuliskan Fuji-Hakone-Izu National Park. Mereka semua bisa berjalan seperti layaknya orang normal sedangkan saya melangkahkan satu kaki saja harus penuh perjuangan. Saya berjalan dengan menyilangkan tangan saya dan menyingkapnya di antara pinggang. Alhasil ketika berfoto hanya foto saya lah yang benar-benar jelek. Mata tertutup. Rambut berterbangan seperti di iklan sampo akibat diterpa angin dan  saya gemetaran.

            Tidak jauh dari batu selamat datang terdapat sebuah Toko souvenir. Kami diberi kesempatan untuk membeli sebuah cinderamata. Di dalamnya terasa berbeda. Lebih hangat. Bangunan terbuat dari kayu-kayu yang berwarna coklat muda. Banyak cinderamata unik khas jepang dan fuji seperti patung fuji, boneka koshiki dan lain sebagai-nya. Tempatnya tidak besar namun nyaman.  Saya melihat-lihat dalam toko dan mereka menjual minuman hangat seperti ocha dan sebagainya. Ocha hangat menarik perhatian saya dengan segera saya kesana dan memesan satu ocha hangat untuk saya minum. Kasirnya seorang wanita. Mungkin 3 tahun lebih tua dari saya. Saya segera merogoh kantong saya dan memberikan uang 150 yen. Wanita itu pun tersenyum dan mengucapkan arigatou gozaimas dan saya berterima kasih kembali dengan mengucapkan arigatou gozaimas karena itu adalah hanya bahasa jepang saya tahu.

            Sambil duduk di sebuah meja meminum ocha hangat saya melihat ke luar jendela. Meskipun hawanya dingin di luar sana. Pemandangan yang disajikan sangatlah indah. Pohon hijau menghiasi pinggir jalan. Bebatuan dan Salju yang menghiasi puncak gunung tersebut.

            Ketika saya melihat-lihat ke luar jendela. Thomas-san duduk tepat di depan saya. Sepertinya dia juga kedinginan karena memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Meskipun sudah tua dan rambutnya memutih dia masih terlihat berjiwa muda.

            Saya menanyakan tentang salju yang berada di puncak gunung Fuji kepada Thomas-san.
“Thomas-san kenapa salju-nya cuma ada di atas ? kok yang dibawah gak ada ?”, tanya saya kepadanya.
“salju yang di puncak Fuji namanya salju Abadi dinamain Salju Abadi karena sepanjang tahun puncak gunung Fuji ya bersalju terus” jawabnya.

            Saya menikmati pemandangan Fuji sampai tetes terakhir pada ocha saya. Mungkin saya akan merindukan suasana ini. Baru pertama kalinya saya melihat salju dan merupakan pengalaman berkesan buat saya.
            

Selasa, 19 Maret 2013

Perjuangan Sepasang Perantau


Perjuangan Sepasang Perantau


Hanya dengan bermodal nekat dan sedikit uang, Iyem dan suaminya Suyitno mempertaruhkan nasibnya di Ibukota Jakarta. Bukan keinginan mereka untuk merantau ke ibukota tetapi karena sebuah paksaan ekonomi yang mengharuskan mereka untuk mengadu nasib. Di Kampung halamannya Kebumen mereka hanya berjualan gula merah dan tentu saja hal itu tidak mencukupi bagi pasangan tersebut yang memiliki 3 orang anak yang harus dipenuhi kebutuhan sekolahnya.
Iyem dan Suyitno tinggal di kontrakan yang ruangannya hanya seluas 3x3 meter. Kasur terletak di pojok kiri tembok dan peralatan masak tepat terletak di samping mereka. Tetapi disinilah tempat mereka berdua tinggal. Setiap pukul 05.00 , Iyem selalu bangun dari kasurnya dan segera keluar untuk mencuci muka. Tanpa sarapan dia langsung bergegas ke rumah saya untuk bekerja.
“ Tok , Tok Mas Albert bangun bibi mau sapu kamar mas Albert” kata Iyem sembari mengetuk pintu. Saya bangun dari kasur dan segera membukakan pintu. Iyem berdiri tepat di depan kamar sambil memegang segagang sapu dengan wajah yang sedikit masih mengantuk. Dengan segera ia masuk ke kamar saya dan membersihkan lantai yang kotor dan sedikit berdebu. Seusai dia menyapu kamar saya , saya meminta waktu untuk berbicara dengan Iyem.Saya ingin tahu lebih tentang kehidupan dirinya.
Saya berbicara kepada Iyem yang sedang melakukan aktifitasnya. “ Bi, bibi asalnya darimana bi ?” , Tanya saya dengan wajah yang masih setengah sadar. “ Bibi mah sama kaya papa bert dari Kebumen” jawabnya sambil menyapu.  Saya kaget karena siapa sangka ternyata Iyem berasal dari tempat yang sama dengan papa saya. Padahal Iyem sudah bekerja di tempat saya selama 7 bulan dan saya baru tahu jika dia berasal dari Kebumen.
“Bibi kenapa mau kerja jadi pembantu cuci gosok bi ?” Tanya saya. Lalu Iyem menjawab “ ya bibi kan sama suami merantau bert ke Jakarta jadi bibi mau deh kerja apa aja di Jakarta asal dapet duit”. Kebutuhan  materilah yang menjadi sebuah alasan kenapa Iyem harus merantau.
 Lalu Iyem bercerita mengenai pengalaman pahit yang tentu saja telah dialami-nya selama 4 tahun berada di Jakarta. terlebih lagi ketika mereka berdua baru pertama kali tiba di Jakarta tak ada satu pun yang mereka kenal dan banyak pergulatan batin yang meliputi pikiran mereka. Harus kerja apa ? harus kemana ? harus tinggal dimana ? , pertanyaan itulah yang timbul di pikiran mereka berdua.
Suyitno berkata kepada saya bahwa istrinya adalah seorang istri yang setia dan tangguh karena Iyem tidak pernah menyerah terhadap keadaan. Banyak masalah tentunya yang menghampiri mereka ketika berada di Jakarta pertama kali. Cercaan mereka terima dan Suyitno paling ingat adalah ketika dirinya terkena penyakit Tipus . Ketika itu mereka berdua tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya berobat. Biaya yang diperlukan sebesar 150 ribu rupiah. Mungkin bagi kita 150 ribu tidak lah seberapa dan bisa dengan mudah kita dapatkan , tapi bagaimana dengan Iyem dan Suyitno yang bagi mereka 150 ribu rupiah seperti uang sebesar 1,5 juta rupiah. Iyem melakukan segala cara agar suaminya bisa disembuhkan, sampai akhirnya ia bekerja sebagai tukang cuci gosok dan hari pertama ia bekerja ia langsung memohon kepada tuan rumah untuk meminjamkan uang untuk berobat. Akhirnya didapatkan uang tersebut dan segera kebahagiaan menghampiri Iyem. Senyumannya terurai lebar ketika ia melihat suaminya sehat kembali. Seusai  sembuh Suyitno akhirnya bekerja sebagai seorang tukang bangunan.
Masalah bukan hanya itu saja cerita Suyitno dan Iyem. Pertama kali ketika mereka tinggal di Jakarta mereka mendapatkan cercaan dari banyak orang sekitar. “ WOI JAWA NGAPAIN LU TINGGAL DISINI !?”  salah satu cercaan yang paling mereka ingat adalah kata tersebut.
Meskipun saya berbicara kepada Iyem dan Suyitno di waktu yang berbeda tetapi jawaban mereka selalu saja sama. Mereka berdua sama-sama berkata bahwa tidak perlu meladeni cercaan yang ditujukan kepada mereka, karena betul memang mereka merantau tetapi mereka jelas punya tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Setelah 4 tahun tinggal di Jakarta segala macam rintangan berhasil mereka lalui bersama tanpa adanya keluh kesal. Sekarang Iyem mempunyai pendapatan sebesar 1,5 juta – 2 juta sebulan dan suaminya mempunyai pendapatan sebesar 2,5 juta sebulan. Penghasilan itu sudah cukup bagi mereka karena mereka sudah mampu untuk membeli sebuah motor, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai ketiga anak mereka sekolah.
Seorang teman dari Iyem yang bernama Hoiriah berkata kepada saya bahwa Iyem dan  Suyitno adalah pasangan perantau yang bekerja keras. Hoiriah berkata bahwa Iyem selalu mau melakukan kerjaan apa-pun.
           Seiring waktu berjalan Iyem dan Suyitno melangkah bersama untuk masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Tidak kenal dengan apa yang namanya rasa lelah dan selalu tetap berharap akan mendapatkan sesuatu yang lebih lagi hari esok.

Selasa, 26 Februari 2013

Kenya Kebebasan yang Terbelenggu


Kenya Kebebasan yang Terbelenggu
Suasana malam yang tenang di Negara Kenya diwarnai dengan mobi-mobil yang melintas, Orang-Orang berjalan pulang menuju rumahnya dan mungkin ada beberapa yang baru saja untuk pergi ke suatu tempat. Namun sebenarnya malam tersebut bukanlah malam yang tenang di Kenya. Setiap orang hanya bisa meratapi tentang bagaimana Pemerintahan di Kenya yang sangat kacau balau. Dimana mereka hanya bisa berbicara tentang masalah yang terjadi namun tidak berani melakukan tindakan apapun karena takut akan kekuatan pemerintahan disana. Anggapan Pemerintahan di Kenya adalah seperti Burung Pemakan Bangkai. Mereka berkuasa, bersenang-senang, tertawa di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Namun beberapa dari Rakyat Kenya memberanikan diri untuk melakukan perubahan menuju Kenya  yang    lebihbaik. 
            Boniface Mwangi (29) seorang Jurnalis dari Kenya yang merupakan Pemenang Foto Jurnalistik Dunia memutuskan untuk meletakkan Kameranya. Dia sudah lelah terhadap Negaranya sendiri karena Korupsi Politik yang terus menerus berlanjut tanpa adanya perubahan. Yang dia ingin lakukan sekarang adalah merubah Negaranya demi seluruh Rakyat di Kenya.
            Malam itu di Nairobi Mwangi dan krunya mempersiapkan aksi ilegal pertamanya untuk melakukan protes terhadap pemerintahan. Dia dan kru-nya berdiskusi di ruangan yang tidak terlalu besar. Meski-pun mereka terbatas oleh fasilitas tetapi mereka semua mempunyai tujuan yang sama yaitu membawa perubahan untuk Kenya. Seusai berdiskusi Mwangi segera mempersiapkan semua peralatan dan segera bergegas menuju mobil.
             Akhirnya Mwangi dalam perjalanan menuju tempat melakukan aksinya. Suasana dalam mobil dipenuhi dengan adrenalin serta kekhawatiran karena dia sadar bahwa aksi yang dilakukannya adalah illegal dan terlebih lagi tidak teorganisir.
             “ Kenya adalah salah satu negara yang indah namun Rakyat Kenya adalah para pengecut, mereka hanya bisa berkomentar tentang korupsi, pengambilan tanah, kekebalan hukum tanpa melakukan sebuah tindakan ”, Kata Mwangi. hal inilah yang membuat Mwangi ingin meninggalkan zona aman dan melawan hukum demi Kenya.
             Sesampainya di Lokasi dia dan kru-nya memulai aksinya. Aksi pertama yang dia lakukan menggambar Grafiti di dinding jalan Kota. Hanya bermodal nekat dan beberapa peralatan seperti spray, tangga, dan proyektor. Proyektor dinyalakan dan dihadapkan ke arah dinding. Terpampang lah sebuah gambar dari proyektor tersebut. Para pelukis segera menggambar apa yang sesuai dengan gambar dari proyektor. Akhirnya Sebelum menjelang pagi Grafiti tersebut pun selesai. Keringat serta kerja keras yang mereka lakukan akhirnya berbuah.
             Ketika matahari terbit masyarakat melakukan aktivitasnya. Mereka melihat sesuatu yang tidak biasa dalam perjalanan mereka. Mereka berhenti sejenak untuk melihat apa yang terlukiskan di dinding yang mereka lalui. Lukisan tersebut menggambarkan kondisi Kenya sekarang. Mereka hanya bisa terdiam dan sadar bahwa apa yang dikatakan dari lukisan tersebut adalah hal yang benar. Mereka sadar bahwa mereka pengecut karena tidak berani melakukan sebuah tindakan apapun.
            Seminggu kemudian Mwangi dicari oleh beberapa politisi untuk ditawarkan bekerjasama. Berbagai tawaran menggiurkan berupa uang pun diberikan kepadanya, Namun dia tetap berpegan teguh pada visi dan misinya dan menolah tawaran tersebut. Yang dia cari bukanlah material melainkan kebebasan negaranya. Karena menolak tawaran tersebut beberapa hari kemudian ada sebuah ancaman dan Mwangi akhirnya dipanggil oleh kepolisian Kenya. Sebelum memenuhi panggillan kepolisian Mwangi mengupdate pesan di facebooknya untuk mengumpulkan massa dan mendatangi kantor kepolisian agar dirinya terbebas.
           Mwangi yang ditahan dibalik jeruji kepolisian, tersenyum ketika mendengar sorak-sorak yang berada di depan kepolisian. Akhirnya Mwangi pun bebas dari balik jeruji dan berjalan menuju keluar. Di depan kepolisian dia meneriakkan “ Kenya adalah rumah kita “ dan sorakan pun bergemuruh keras dari demonstran. 
           Meskipun dia dan kru-nya dilarang membuat graffiti. Mereka tidak kehilangan semangat untuk melakukan perubahan. Ketika berada di tempat kerjanya, Mwangi mengambil album foto hasil potretannya. Membuka halaman demi halaman, melihat gambar demi gambar membuatnya tersadar bahwa gambar yang dia potret memiliki rasa emosional yang sangatlah kuat tentang kekejaman pemerintahan Kenya. Dia memanfaatkan fotonya tersebut sebagai penggerak rasa emosional rakyat Kenya. Dengan segera dia melakukan pameran gambar-gambar yang ia potret di jalanan.
          Gambar yang terpampang adalah gambar yang menggambarkan kekejaman Pemerintahan Kenya. Sebanyak 700 .000 orang telah melihat foto yang diambil Mwangi. Foto tersebut menghantui mereka karena teringat akan peristiwa itu. Beberapa dari mereka ada yang menangis karena mereka telah merasakan hal yang ada dalam foto tersebut. Kekejaman, Penyiksaan, Ketidakadilan itulah yang mereka rasakan. 
         Mwangi telah melakukan pameran foto lebih dari 20 kota di Kenya. Lalu dia kembali secara diam-diam untuk menggambar graffiti tanpa mempedulikan resiko hukumannya. Mwangi dan Kru-nya telah menggambar lebih dari 40 buah graffiti.  Aksi terbesar yang dia lakukan berikutnya adalah membawa 49 Peti Mati dan menaruhnya di depan Gedung Parlemen Kenya. Di setiap peti matinya tertera tulisan “ Bury The Vultures “. Setelah meletakkan Peti Mati di depan Gedung Parlemen. Mwangi dan para demonstran meninggalkan tempat tersebut. Polisi pun datang dan mengangkat semua peti mati yang terletak di depan gedung. Meskipun begitu Mwangi dan kru-nya takkan ada matinya untuk memperjuangkan kebebasan Negaranya. Revolusi yang dilakukan oleh Mwangi dinamakan dengan Revolusi Ballot.