Salju
di Puncak Fuji
Nama
: Leonardus Albert K
NIM: 11140110158
“WUSSSSSSSSSSSSSSS” angin dingin yang bertiup kencang
masuk ke dalam bus saya melalui celah jendela yang saya buka. Dengan segera saya
menutup jendela yang terbuka tepat berada di samping saya. Saya tidak menyangka
bahwa angin yang bertiup akan sedingin itu. Saking dinginnya tiupan angin
tersebut membuat muka saya langsung gemetaran. Ternyata penunjuk suhu yang
berada dalam bus menunjukkan suhu 17 derajat celcius. Padahal saya baru berada
di tingkat 5 Gunung Fuji. Saya tidak membayangkan berapa suhu ada di tingkat 3
gunung Fuji. Di pikiran saya mungkin 9 derajat.
Kondisi saya masih mengantuk karena mengalami jetlag. Perbedaan waktu di Jepang dengan
Indonesia sebanyak 3 jam lebih cepat. Saya berusaha untuk tidur namun tidak
bisa, karena suara rombongan yang gaduh di dalam bus. Untuk mengisi waktu, Tour
Guide saya bernama Thomas-san menyalakan mesin karaoke yang berada di tepat
samping tempat duduk kursi. TV tepat berada di atas mesin karaoke.
“Ayo siapa yang mau nyanyi di depan” Kata Thomas-san
dengan bahasa Indonesia sedikit kejepang-jepangan. Karena saya masih ngantuk,
saya tidak mau maju ke depan. Saya hanya menyandarkan kepala saya ke dekat
jendela dan memandangi pemandangan luar bus.
“Aku , Aku !” Ayah saya berteriak dan mengangkat
tangannya. Saya langsung terkejut ketika mendengar suaranya. Lalu ayah saya
segera berdiri dan maju ke depan.
“ Mau lagu apa pak Sugeng ?” tanya Thomas-san.
“Hey Jude-nya the beatles” Jawab ayah saya.
Diputarlah lagu tersebut. Yang pada awal-nya saya ingin
namun menjadi tertawa terbahak-bahak karena mendengar suara ayah saya beryanyi.
Suaranya sumbang sekali dan cenderung membuat nada sendiri. Tetapi ayah saya menyanyi dengan penuh percaya
diri dengan membaca kalimat inggris seperti kalimat Indonesia. Setidaknya seisi
bus terhibur dengan penampilan ayah saya dan dapat mencairkan suasana.
“ Ya Ibu-ibu, Bapak-bapak, anak-anak sekalian bisa dibuka
jendelanya sebentar, disini akan terdengar suara musik yang berasal dari dalam
hutan ”, saya segera membuka jendela namun saya sudah menyiapkan diri sebelum
diterpa angin dingin. Kemudian saya menarik jendela tersebut ke kiri dan
terdengar seperti suara lagu yang berasal dari dalam hutan. Saya tidak begitu
tahu lagu karena belum mendengarnya. Thomas-san menjelaskan bahwa lagu tersebut
merupakan buatan alam yang berada di dalam hutan tersebut. Saya segera menutup
jendela saya kembali karena tidak tahan terhadap angin dingin yang menerpa muka
saya terus-terusan.
1 jam kemudian akhirnya saya sampai di tingkat 3 gunung fuji
yang dimana hanya 600 meter dari puncak-nya. Satu persatu dari kami keluar.
Ketika giliran saya angin kembali bertiup kencang dan lebih dingin dari
sebelumnya. Baru melangkahkan satu kaki keluar bus. Saya langsung berdiri tegak
gemetaran. Bodohnya saya hanya menggunakan baju polos berwarna hitam dan celana
panjang berwarna hitam juga. Dinginnya sampai menusuk kulit. Bulu semua
berdiri. Kedua tangan saya segera saya gosok-gosokan agar panas dan
menempelkannya ke muka saya. Ya namun hanya bermanfaat sedetik saja dan badan
saya kembali gemetaran.
Saya sedikit menyesal karena tidak membawa jaket. Thomas-san
memberitahu bahwa suhu disini sekitar 11 derajat. Thomas-san mengajak kami
untuk berfoto bersama di sebuah batu yang bertuliskan Fuji-Hakone-Izu National Park. Mereka semua bisa berjalan seperti
layaknya orang normal sedangkan saya melangkahkan satu kaki saja harus penuh
perjuangan. Saya berjalan dengan menyilangkan tangan saya dan menyingkapnya di
antara pinggang. Alhasil ketika berfoto hanya foto saya lah yang benar-benar
jelek. Mata tertutup. Rambut berterbangan seperti di iklan sampo akibat diterpa
angin dan saya gemetaran.
Tidak jauh dari batu selamat datang terdapat sebuah Toko
souvenir. Kami diberi kesempatan untuk membeli sebuah cinderamata. Di dalamnya
terasa berbeda. Lebih hangat. Bangunan terbuat dari kayu-kayu yang berwarna
coklat muda. Banyak cinderamata unik khas jepang dan fuji seperti patung fuji,
boneka koshiki dan lain sebagai-nya.
Tempatnya tidak besar namun nyaman. Saya
melihat-lihat dalam toko dan mereka menjual minuman hangat seperti ocha dan
sebagainya. Ocha hangat menarik perhatian saya dengan segera saya kesana dan
memesan satu ocha hangat untuk saya minum. Kasirnya seorang wanita. Mungkin 3
tahun lebih tua dari saya. Saya segera merogoh kantong saya dan memberikan uang
150 yen. Wanita itu pun tersenyum dan mengucapkan arigatou gozaimas dan saya berterima kasih kembali dengan
mengucapkan arigatou gozaimas karena
itu adalah hanya bahasa jepang saya tahu.
Sambil duduk di sebuah meja meminum ocha hangat saya
melihat ke luar jendela. Meskipun hawanya dingin di luar sana. Pemandangan yang
disajikan sangatlah indah. Pohon hijau menghiasi pinggir jalan. Bebatuan dan
Salju yang menghiasi puncak gunung tersebut.
Ketika saya melihat-lihat ke luar jendela. Thomas-san
duduk tepat di depan saya. Sepertinya dia juga kedinginan karena memasukkan
tangannya ke dalam saku jaket. Meskipun sudah tua dan rambutnya memutih dia
masih terlihat berjiwa muda.
Saya menanyakan tentang salju yang berada di puncak
gunung Fuji kepada Thomas-san.
“Thomas-san
kenapa salju-nya cuma ada di atas ? kok yang dibawah gak ada ?”, tanya saya
kepadanya.
“salju
yang di puncak Fuji namanya salju Abadi dinamain Salju Abadi karena sepanjang
tahun puncak gunung Fuji ya bersalju terus” jawabnya.
Saya menikmati pemandangan Fuji sampai tetes terakhir
pada ocha saya. Mungkin saya akan merindukan suasana ini. Baru pertama kalinya
saya melihat salju dan merupakan pengalaman berkesan buat saya.